Inspirasi perlawanan Mama Aleta

MAMA ALETA | foto oleh Marwan Azis
Perempuan ini menjadi motor perlawanan pada perusahaan tambang yang beroperasi di Mollo, NTT. Sosoknya inspirasif, karena perlawanan itu berbuah berhentinya aktivitas pertambangan yang merusak. Dalam South to South (StoS) Film Festival 2012, Mama Aleta, begitu perempuan ini akrab disapa, mendapat tempat terhormat.
***

Dinamika perjuangan masyarakat adat Mollo, Kecamatan Nausus, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT berbentuk karikatur, tampak menghiasi hampir seluruh areal StoS Film Festival, Goethe Institut, Jakarta. Aktivitas keseharian yang akrab dengan alam, berikut produk budaya yang dihasilkan, tampil di dalamnya.

Salah satu yang paling menonjol adalah figur seorang perempuan bernama Mama Aleta. Aktivitasnya, yang merupakan bagian dari perjuangan Masyarakat Mollo, kurang lebih digambarkan seperti dalam film Avatar karya James Cameroon. Mereka berjuang melindungi kawasan tempat tinggal mereka, dari ‘modernisasi’ berupa aktivitas pertambangan yang merusak.

Mollo

Mollo terletak di sekitar kaki gunung Mutis, NTT. Masyarakat adat Mollo hidup berdampingan dengan alam, dan sangat menghormati nilai adat dan budaya. Bagi orang Mollo, air, hutan, tanah dan batu adalah bagian dari identitas mereka.

Oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif. Artinya, air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang.

Kehadiran gunung-gunung kecil di sekitar Gunung Mutis, seperti Gunung Nausus dan Gunung Anjaf adalah bagian tidak terpisahkan bagi kehidupan Mollo. Nausus dan Anjaf ibarat ‘alam semesta’ kehidupan mereka yang sempurna.

Sejak jaman nenek moyang, masyarakat Mollo biasa melepas ternak, membuka ladang dan berkebun di sana. Bagi laki-laki dewasa Mollo yang sudah berumah tangga, akan menjalani proses ‘pelepasan’ di dua gunung itu, sebagai simbolisasi memasuki kehidupan yang sebenarnya.

Bebatuan di sana dianggap sebagai kekuatan utama layaknya tulang punggung. Tanpa tulang, manusia akan lumpuh, begitu juga kehidupan Mollo bila bebatuan di dua gunung itu tidak ada.

Di Gunung Mutis, ada beberapa hulu sungai besar yang selama ini menjadi sumber air utama Mollo dan masyarakat Timor. Sungai Noelmina, Benanain, dan Oebesi, yang berdampingan dengan keanekaragaman hayati yang menyeimbangkan kehidupan alam di pulau itu.

Kerusakan

Pusat alam semesta Orang Mollo, Nausus dan Anjaf mulai terusik, ketika perusahaan PT Soe Indah Marmer Pertambangan dan PT Karya Asta Alam mulai aktivitas eksplorasi pada tahun 1997. Aktivitas yang dilakukan tanpa mengikutsertakan masyarakat Mollo dalam perencanaannya itu berbuah perusakan fisik dan nilai-nilai budaya.

Apalagi, dengan dukungan aparat keamanan, pihak perusahaan melarang masyarakat melakukan aktivitas di sana. Tidak boleh berladang, berkebun atau melepas ternak. Kawasan itu dipagar. Situs-situs ritual adat di dalam hutan yang selama ini dijaga dan dipelihara, rusak karena aktivitas tambang marmer itu. Anjaf dan Nausus dibelah, didinamit. Jati diri asal muasal Orang Mollo terampas sejak itu.

Perlawanan pun dimulai. Adalah seorang ibu rumah tangga bernama Aleta Baun, atau biasa dipanggil Mama Aleta, mengusung perjuangan ini dengan menggerakkan masyarakat. Di bawah komandonya, laki-laki dan perempuan bergerak menentang kegiatan tambang.

“Saya terpanggil untuk membela kepentingan masyarakat adat Mollo. Tanah, air dan batu adalah identitas kami, anugerah dari Tuhan yang kami harus selalu jaga,” katanya dalam film dokumenter berjudul Aleta Baun yang diputar dalam pembukaan StoS Film Festival 2012.

Ibu tiga anak ini menggalang perempuan-perempuan Mollo berdemonstrasi dengan melakukan aktivitas menenun kain di wilayah “keramat” yang dikuasai perusahaan tambang. Namun aksi itu dianggap sebagai angin lalu. Aktivitas penambangan pun terus dilakukan. Bahkan tahun 2009, sebuah perusahaan pertambangan baru, PT.Karya Asta memulai aktivitasnya di gunung Batu Naususu.

Mama Aleta yang mendapat dukungan dari tokoh-tokoh adat terus memperluas perlawanan melalui diskusi dan konsilidasi secara bergulir. “Saya tidak pernah lelah menyampaikan bahwa tambang itu tidak baik, karena membawa dampak yang besar bagi masyarakat adat Mollo,” katanya.

Mama Aleta mengaku, selama masa perjuangan melawan investor tambang, waktunya lebih banyak dihabiskan di luar rumah. Mengunjung sejumlah kampong yang juga areal operasi perusahaan pertambangan marmer. Berbagai isu miring tentang sosoknya pun muncul. “Hati saya sakit mendengar tuduhan ini, tapi saya tetap berusaha menjaga keutuhan keluarga dan tabah untuk berjuang,” katanya.

Menang

Perjuangan yang tak kenal lelah itu, akhirnya mengundang simpati dan dukungan. Ketika Mama Aleta mengadakan aksi pada 2001, setidaknya ada 300 ratusan perempuan ikut dalam aksi tersebut. Kaum laki-laki juga terlibat dengan cara terus menerus menggangu aktivitas perusahaan. Pendudukan wilayah tambang oleh para mama itu pun menjadi titik pihak perlawanan.

Aksi Mama Aleta terus berlanjut tahun 2006 sampai 2007. Mama Aleta didukung warga setempat melakukan aksi pendudukan di areal pertambangan Faulik, yang juga merupakan wilayah Mollo.. Diperkirakan ada 500 perempuan yang ikut aksi tersebut. Kantor Bupati Soe pun pernah diduduki. “Supaya pemerintah mendengar aspirasi kami, kalau kami menolak pertambangan marmer di daerah kami,”ungkapnya.

Perjuangan yang tak kenal lelah itu, akhirnya berujung kemenangan di pihak masyarakat Mollo. Mereka berhasil mengusir perusahaan tambang di kampung mereka . Gubernur setempat mencabut ijin sementara perusahaan yang beroperasi di Nausus, lalu menyusul penutupan tambang di Fautlik.

“Walaupun tidak ada semua ditutup, dan ada intimidasi yang dilakukan pihak perusahaan, kematian dari masyarakat, tapi kami bangga aksi kami berhasil menutup tiga lokasi penambangan,” katanya. Perayaan kemenangan itu digelar setiap bulan Mei dalam sebuah Festival Rakyat bernama Ningkam Haumeni.

Marwan Azis | Jakarta