Mereka yang tersisih karena kusta

foto oleh Bhakti Pundhowo
Stigma masyarakat tentang penyakit kusta, agaknya belum berubah. Penyakit itu tetap dianggap menular, tidak bisa disembuhkan, atau bahkan dilihat sebagai kutukan atas dosa yang telah dilakukan. Hal itu juga yang membuat eks penderita kusta terus tersisih. Mereka terusir dari masyarakat dan  melanjutkan hidupnya di panti-panti sosial.


Soal kusta, Indonesia memang luar biasa. Menteri Kesehatan RI Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan, Indonesia menempati urutan ketiga dunia untuk jumlah penderita kusta. Ironisnya, masyarakat masih sering mendiskriminisasi Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).

Salah satu komunitas korban diskriminasi itu ada di pinggiran kota Surabaya. Jauh dari hingar-bingarnya kehidupan kota kedua terbesar di Indonesia itu. Di penampungan yang akrab disebut Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) eks-Penderita Kusta daerah barat Surabaya ini, OYPMK menghabiskan waktu bersama-sama karena persamaan nasib. 

foto oleh Bhakti Pundhowo
Penderita kusta yang datang ke Liponsos, terlebih dahulu mendapatkan pengobatan dan perawatan untuk memastikan bakteri kusta tidak lagi ada. Setelah dinyatakan sembuh, dengan ketidaksempurnaan di tubuh penderitanya karena diamputasi, mereka diizinkan tinggal di sana.

Sejak dibangun 1988, Liponsos milik Pemkot Surabaya ini adalah pelabuhan terakhir bagi penderita kusta di Surbaya dan sekitarnya. Di penampungan itu, penderita kusta diajarkan untuk meniti kembali hidupnya. Bahkan, tak sedikit yang membentuk keluarga, beranak pinak hingga memiliki cucu.

foto oleh Bhakti Pundhow
Awalnya, Liponsos hanya terdiri dari dua barak. Satu barak terdapat 8 kamar. Seiring dengan bertambahnya penghuni, barak pun diperbanyak. Kini terdapat 7 barak dengan total 56 kamar. Saat fotografer Bhakti Pundhowo mengunjungi tempat ini, kurang lebih ada 128 jiwa tinggal di sana.

Mulai balita, hingga paling tua berusia 70-an. Sejumlah 84 orang di antaranya positif menderita kusta. Mereka yang berkeluarga menempati satu kamar. Untuk janda atau duda, biasanya tinggal berdua dalam satu bilik.

Tidak ada yang berbeda dalam keseharian mantan penderita kusta. Mereka beternak, bercocok tanam di sekitar lingkungan pondok, mengayuh becak atau pemulung.

foto oleh Bhakti Pundhowo
Kusta membuat mereka tidak bisa leluasa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Sisa-sisa akibat kusta masih terlihat jelas. Banyak di antara mereka yang harus diamputasi (baca: dipotong) bagian tubuhnya. 

Bila bagian tubuh yang terpotong di bagian kaki, Liponsos menyediakan kaki palsu untuk digunakan beraktivitas sehari-hari. Kaki-kaki palsu itu tidak didapat secara gratis. Umur juga yang membuat kaki-kaki palsu itu lapuk dan rusak. 

Namun hidup harus terus berlanjut. Di pondok yang berdiri di lahan 1,5 hektar itulah, mereka berusaha merasa aman dan nyaman. Tanpa gunjingan ataupun tatapan sinis dari orang lain. Sembari melihat anak-anak mereka tumbuh. Anak-anak yang semuanya tumbuh normal.

foto oleh Bhakti Pundhowo

Bhakti Pundhowo | Surabaya