foto oleh Bhakti Pundhowo |
Soal kusta, Indonesia memang luar biasa. Menteri Kesehatan RI Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan, Indonesia menempati urutan ketiga dunia untuk jumlah penderita kusta. Ironisnya, masyarakat masih sering mendiskriminisasi Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).
Salah satu komunitas korban diskriminasi itu ada di pinggiran kota Surabaya. Jauh dari hingar-bingarnya kehidupan kota kedua terbesar di Indonesia itu. Di penampungan yang akrab disebut Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) eks-Penderita Kusta daerah barat Surabaya ini, OYPMK menghabiskan waktu bersama-sama karena persamaan nasib.
foto oleh Bhakti Pundhowo |
Sejak dibangun 1988, Liponsos milik Pemkot Surabaya ini adalah pelabuhan terakhir bagi penderita kusta di Surbaya dan sekitarnya. Di penampungan itu, penderita kusta diajarkan untuk meniti kembali hidupnya. Bahkan, tak sedikit yang membentuk keluarga, beranak pinak hingga memiliki cucu.
foto oleh Bhakti Pundhow |
Mulai balita, hingga paling tua berusia 70-an. Sejumlah 84 orang di antaranya positif menderita kusta. Mereka yang berkeluarga menempati satu kamar. Untuk janda atau duda, biasanya tinggal berdua dalam satu bilik.
Tidak ada yang berbeda dalam keseharian mantan penderita kusta. Mereka beternak, bercocok tanam di sekitar lingkungan pondok, mengayuh becak atau pemulung.
foto oleh Bhakti Pundhowo |
Bila bagian tubuh yang terpotong di bagian kaki, Liponsos menyediakan kaki palsu untuk digunakan beraktivitas sehari-hari. Kaki-kaki palsu itu tidak didapat secara gratis. Umur juga yang membuat kaki-kaki palsu itu lapuk dan rusak.
Namun hidup harus terus berlanjut. Di pondok yang berdiri di lahan 1,5 hektar itulah, mereka berusaha merasa aman dan nyaman. Tanpa gunjingan ataupun tatapan sinis dari orang lain. Sembari melihat anak-anak mereka tumbuh. Anak-anak yang semuanya tumbuh normal.
foto oleh Bhakti Pundhowo |
Bhakti Pundhowo | Surabaya