Mereka bertarung dengan maut untuk mengais rupiah. Resiko tertimbun longsor atau penyakit paru-paru tidak lebih penting ketimbang mendapatkan uang untuk membantu orangtua. Di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, pekerja anak di pertambangan menjadi sesuatu yang ‘lazim’.
Mangan atau Mn, adalah salah satu kimia logam aktif yang banyak terdapat di dalam bumi. Salah satu daerah di Indonesia yang banyak mengandung mangan adalah NTT.
Sebagai bahan baku industri, mangan asal NTT disebut sebagai mangan dengan komposisi kimia terbaik, dan paling ideal untuk bahan baku dalam industri baja, keramik atau batu baterei. Meski industri mangan terbesar masih dikuasai Ukraina dan Afrika Selatan.
Hingga saat ini, belum ada eksploitasi besar-besaran mangan di NTT. Jumlah penambang terbanyak, masih ditempati penambang tradisional. Dan di antara penambang tradisional itulah, ratusan atau mungkin ribuan anak dipekerjakan. Utamanya, di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu. Anak-anak itu bekerja bak orang dewasa.
Menggali, mengangkut tanah berisi kandungan mangan atau sekedar mengerjakan apa pun pekerjaan kasar yang diperintahkan ‘bos’-nya. Tak berbeda dengan yang dilakukan kedua orang tuanya. Anak-anak yang sebagian besar berusia 7-12 tahun ini pun mendapatkan ‘gaji’. Tak heran bila mereka memilih hengkang dari bangku sekolah, dan lebih mementingkan rupiah.
Paru-paru hitam
Salah satu anak pekerja, sebut saja Ronald. Bocah 10 tahun warga Desa Oematnunu, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Hampir setiap hari, bocah berperawakan kurus ini menghabiskan waktunya di lokasi tambang tradisional tak jauh dari rumahnya. Ayahnya buruh tukang besi, yang juga bekerja di areal tambang yang sama. Sebulan, upah yang diterima sang ayah hanya Rp. 400 ribu/bulan. Jelas tidak cukup untuk kebutuhan sebulan keluarga.
Saat Ronald dinilai sudah ‘siap bekerja’, mantan siswa Kelas III SD ini pun mulai ikut menambang. Meski tidak sebesar yang didapat ayahnya, namun upah yang didapat cukup untuk membeli tambahan lauk. “Cukuplah,” kata Ronald. Ronald tidak menyadari, apa yang dilakukannya membawa resiko besar. Ia mengaku selalu pilek. Ingus terus mengalir dari hidungnya.
“Sebelumnya, saya sehat. Setelah ikut menambang, saya mulai batuk, pilek dan terkadang demam,” kata Ronald. Di dunia penambang, apa yang dialami Ronald sering disebut dengan penyakit paru-paru hitam. Ini jenis penyakit yang paling ditakuti oleh penambang. Penyebabnya, aktivitas menambang tanpa standart kesehatan dan keselamatan.
Noverius H Nggili, salah satu pemerhati tambang di Kupang menjelaskan, paru-paru hitam yang sebenarnya adalah penyakit kerusakan paru-paru karena terkotori oleh zat mangan, memang tidak salah disembuhkan. Jauh lebih keras dari pada nikotin yang ada di dalam rokok. ”Penyakit paru paru hitam sangat berbahaya, karena tidak dapat disembuhkan,” katanya.
Genosida
Sebuah penelitian yang dilakukan di sebagian besar lokasi penambangan tradisional di Timor barat, membuktikan, petaka yang dihasilkan akibat aktivitas penambangan mangan di NTT bisa sangat dahsyat. Bahkan mengarah ke genosida (hilangnya ras/suku). Apalagi, sebagian besar pekerja tambang adalah anak-anak berusia sekolah.
“Kebiasaan menghirup dan menelan partikel partikel logam sangat berbahaya bagi anak anak. Gejala keracunan mangan adalah halusinasi, pelupa dan kerusakan saraf. Mangan juga dapat menyebabkan Parkinson, emboli paru-paru dan bronkitis,” katanya. Sementara bagi orang dewasa, ketika terkontaminasi partikel logal dalam jangka waktu lama, mereka menjadi impoten.
“Suatu sindrom yang disebabkan oleh mangan memiliki gejala seperti skizofrenia, kebodohan, lemah otot, sakit kepala,” lanjutnya. Tak heran bila efek samping dari aktivitas penambangan mangan sangat ditakuti. Sayangnya, tidak semua penambang memahami hal ini. Utamanya, penambang tradisional yang melakukan aktivitasnya tanpa standart yang jelas. Apalagi, penambang anak.
Hal senada disorot Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Di Timor barat, jumlah pekerja anak pada tambang mangan tradisional di Timor barat cukup tinggi. Koordinator Project (ILO) NTT, Yunirwan Gah bahkan memastikan, di setiap pertambangan informal di Timor, pasti terdapat anak-anak sebagai pekerja di dalamnya. “Hasil penelitian membuktikan bahwa disetiap pertambangan informal yang ada didaratan Timor ada pekerja anak,” katanya.
Yunirwan mengakui, maraknya pekerja anak disejumlah pertambangan tradisional diakibatkan oleh krisis keuangan yang berkepanjangan. Pendapatan dari orang tua anak yang rendah membuat anak berusaha menghasilkan uang dari aktifitas pertambangan mangan.
“Sebagian besar orangtua tidak menyadari bahaya dari zat yang ditimbulkan dari aktifitas anak menggali mangan seperti bronchitis, pneumonia dan melemahnya fungsi paru-paru. Selain itu, keselamatan dan moral anak juga akan ikut terganggu,” katanya.
Tidak adanya hubungan kerja antara investor penambang tradisional memperparah kondisi itu. Akibatnya, para penambang, termasuk buruh anak tidak mendapat jaminan keselamatan kerja, perlindungan saat kerja, asuransi kesehatan dan perlindungan lainnya. Atas hal ini, Kepala Bidang Pengawasan dan Pembinaan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT, Herman Nai Ulu, berjanji akan melakukan penarikan pekerja anak dari lokasi penambangan mangan. Entah kapan,..
Rizky Fointuna | Kupang