Djohar Arifin dan Nurdin Halid Setali Tiga Uang

Awan kelam akan terus menyelimuti persepakbolaan Indonesia. Kecuali, pengurus PSSI mendatang dari pihak yang netral, bukan dari kedua pihak yang bertikai.

Tidak usah berlama-lama mengembalikan sepakbola Indonesia ke habitatnya dengan keruwetan. Sedih memang, negara lain sudah bicara soal prestasi sepakbola, negeri ini masih diributkan mengenai kompetisi.


Ya, belum genap satu periode kepengurusan PSSI yang baru-setelah Kongres Luar Biasa (KLB) yang diadakan di Solo beberapa waktu lalu, PSSI yang dipimpin oleh Djohar Arifin ini sudah mendapat kritikan dari mana-mana.

Lebih parah lagi, para Pengurus Provinsi (Pengprov), PSSI menyerukan diadakan KLB untuk memilih Ketua PSSI yang baru, dengan dalih, kalau PSSI dianggap banyak melanggar hasil kongres dan statuta PSSI.


Akhir-akhir ini, desakan yang merupakan hasil dari Rapat Akbar Sepakbola Nasional (RASN) semakin menguat diadakannya KLB. Apalagi, dengan empat anggota Komite Eksekutif (Exco) yang dipecat PSSI karena dianggap membangkang. Bahkan kota Yogjakarta pun bersedia bila ditunjuk sebagai tuan rumah penyelenggara KLB.


Kalau kita runut ke belakang. PSSI zamannya Nurdin Halid dengan PSSI sekarang pimpinan Djohar Arifin, tidak ada bedanya. Sewaktu awal Djohar Arifin terpilih sebagai Ketua PSSI yang baru, dengan lantang plus gembar-gembor akan melakukan reformasi ditubuh PSSI. Tapi kenyataannya, PSSI hanya dijadikan ajang balas dendam kubu Djohar Arifin cs, kepada kepengurusan PSSI lama.

Kabar perkembangan terbaru Liga Super Indonesia (LSI), Liga yang diselenggarakan PT Liga Indonesia,sudah dinyatakan illegal oleh FIFA, sedangkan pihak yang bersangkutan menanggapinya dengan santai, dan masih menunggu surat resmi dari AFC dan FIFA yang baru akan dikirim akhir minggu ini .

Terlalu berambisi dan hanya mementingkan kelompok tertentu, itu lah PSSI. Bagaimana tidak, Djohar Arifin bukan belajar dari kesalahan PSSI sewaktu dipimpin oleh Nurdin Halid, tapi justru Djohar Arifin ini menjiplak cara yang dilakukan Nurdin pada waktu menjadi Ketua PSSI.

Dengan cara mengillegalkan liga hasil bentukan dari PT. Liga Indonesia, yaitu Liga Super Indonesia (LSI) dan memberi sanksi bagi club yang mengikuti ISL, beserta pemainnya. Konkretnya, sang pemain tidak boleh memperkuat timnas merah putih. Hal serupa pernah dilakukan Nurdin Halid dengan mengillegalkan Liga Primer Indonesia (LPI). Cermin dari seorang pemimpin yang tidak kreatif.

Mengenai KLB, pihak Djohar Arifin sendiri menanggapinya dengan tidak simpatik. Dengan lantang, pihak Djohar Arifin mengatakan, pihak-pihak yang menyerukan KLB itu merupakan bagian dari konspirasi, yang ingin melengserkan jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI.

KLB, solusi atau konspirasi?


Seperti yang dikatakan Ketua Pengprov DKI Jakarta, Hardi Hasan dalam sebuah tayangan di Metro TV kemarin, Kamis (22/12), seorang pemimpin itu harus bekerja secara profesional, dan mau menerima masukan maupun kritikan dari pihak manapun, demi kemajuan bersama.

"Bukan malah melakukan diskriminasi kepada anggotanya dan memberi sanksi. Jika KLB nanti benar diselenggarakan, saya berharap Ketua PSSI yang mendatang, bukan dari kedua pihak yang bertikai tetapi dari pihak yang netral. " jelas pria yang juga politisi dari Partai Demokrat itu.

Bagaimana kalau begini, bila KLB adalah solusi yang terbaik, mengapa tidak dilaksanakan? Pecinta sepakbola di tanah air sudah dibuat marah dan geram untuk kedua kalinya terhadap kepengurusan PSSI.

Dulu, zamannya Nurdin Halid sewaktu masih menjadi Ketua PSSI dicaci maki karena dianggap mempolitisir timnas, dengan membawa punggawa-punggawa Timnas ke kediaman pribadi Aburizal Bakrie.

Di pengurusan PSSI sekarang, hal itu juga terulang kembali. Timnas diusung ke rumah milik pengusaha di Jalan Jenggala, Jakarta Selatan. Lalu apa bedanya?

Secara sederhana, bila PSSI mengklaim diri sebagai pihak yang benar, tak ada lain yang dilakukan selain bersikap tegas. Tapi bila PSSI salah, maka bersikaplah layaknya ksatria dengan legowo.

Terlepas dari pro kontra, PSSI seharusnya juga lebih terbuka dengan masyarakat khususnya pecinta sepakbola di tanah air, dengan cara mengadakan dialog secara terbuka membahas sepakbola di tanah air demi kemajuan bersama. PSSI juga harus bisa menerima masukan maupun kritikan pihak diluar PSSI.

Kalau ingin membangun dan memajukan sepakbola ditanah air, rangkul semua pihak yang bertikai,ajak duduk bersama untuk mencari solusi yang terbaik, agar nasib sepakbola di negeri ini lebih maju dan meraih prestasi yang membanggakan.

Supardiyanto | Jakarta