Ayo bung belajar demokrasi dari Taiwan

Ripley
Pesta Demokrasi di Taiwan usai sudah. Disaksikan seribuan pemantau internasional, termasuk dari Indonesia, 18 juta warga serentak melaksanakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada hari dan jam yang sama : 14 Januari 2012, pukul 8 pagi sampai 16 sore. Ayo belajar (lagi) demokrasi,..

Sampai tengah hari itu, sekitar 13,5 juta warga selesai memilih dan kembali ke rumahnya masing-masing. Kebanyakan warga menunggu hasil penghitungan cepat (quick count) yang disiarkan 4 saluran televisi secara nasional.


Terhitung sejak 15 Januari 2012 Taiwan punya presiden baru. Tepatnya presiden incumbent yang diperbarui melalui pemilihan umum yang tertib, damai, efisien. Dialah presiden Ma Ying-jeou (61) yang berhasil merebut 51,6 persen suara, mengalahkan rival terdekatnya capres wanita Tsai Ing-wen (56), yang mendulang 45,6 persen. Ada pun capres independen, James Soong dari partai Rakyat Pertama (PFP) mendapat kurang dari 3 persen suara.

Hasil perhitungan suara memang belum resmi sampai KPU Taiwan (CEC) mengumumkannya 10 hari kemudian. Namun sinyal kemenangan Ma Ying-jeou tidak terbendung menyusul penampilannya yang sumringah di halaman markas Partai Kuomintang (KMT) di Taipei, Sabtu malam (14/1).

Di depan ribuan pendukungnya, presiden Ma mengacungkan dua jari berbentuk "V" (Victory) dan disambut massa dengan teriakan "Tong Swan" (kemenangan) sambil membunyikan terompet dan mengibarkan bendera merah-biru. Ini merupakan kemenangan kedua Ma Ying-jeou setelah terpilih dalam Pemilu 4 tahun lalu.

Sebaliknya, dalam selisih waktu berdekatan, capres dari Partai Progresif Demokratik (DPP), Tsa Ing-wen mengumumkan kekalahannya dari markas DPP ditingkahi gerimis yang mengguyur ibukota Taipei. Bunyi-bunyian terompet dan teriakan massa lenyap, saat capres wanita berusia 56 tahun ini mengucapkan terima kasih atas kesetiaan pendukungnya.

"Hari ini kita semua telah menjalankan pemilihan dan melihat hasil yang mengecewakan akibat persiapan yang kurang optimal. Dengan hasil ini, saya menyatakan mundur sebagai pimpinan DPP dan memberikan kesempatan kandidat lain untuk memimpin Taiwan," ujar Tsai Ing-wen di depan ribuan pendukungnya. Banyak pendukung capres Tsai menangis melihat kandidatnya kalah dalam Pemilu, namun kebanyakan menerima kekalahan itu dengan kepala tegak.

Gegap gempita pemilihan presiden Taiwan seakan menenggelamkan Pemilu legislatif yang diikuti 11 partai politik termasuk tiga parpol utama yaitu DPP, KMT, dan PFP. Kesebelas parpol itu diwakili 267 caleg yang bersaing di 73 daerah pemilihan untuk memperebutkan 113 kursi parlemen tingkat nasional. Dari 113 kursi parlemen terdapat jatah 6 kursi untuk penduduk asli Taiwan yang tinggal di kawasan pegunungan.

Dengan kemenangan presiden Ma dari KMT, hampir dipastikan partai Kuomintang akan kembali menguasai mayoritas kursi di Parlemen, kendati diperkirakan jumlahnya menurun karena naiknya peroleh kursi DPP. Kuomintang adalah partai nasionalis tertua di Taiwan, sudah berkuasa puluhan tahun sejak didirikan oleh Dr. Sun Yat Sen pada 1912. Partai KMT sempat kalah oleh DPP pada Pemilu 2000, namun berhasil merebut kembali kekuasaan sejak 2004 sampai sekarang.

Isu China

Masa kampanye pemilu adalah bagian yang menarik dalam Pemilu Taiwan. Dua kandidat utama Ma Ying-jeou dari KMT dan Tsa Ing-wen dari DPP berada dalam posisi "neck to neck" dengan selisih popularitas yang tipis yakni sekitar 5 persen. Sejumlah survei independen menunjukkan kedua kandidat memiliki daya tarik kuat bagi rakyat Taiwan yang berjumlah 23 juta orang.

Sejumlah isu mengemuka selama masa kampanye, diantaranya yang paling panas, soal sikap Taiwan terhadap penguasa daratan China alias RRC (Mainland). Seperti diketahui, Taiwan adalah "provinsi besar" yang membelot dari RRC pada 1949, ketika dua juta pengikut Partai Nasionalis China kabur dari RRC, menyusul kekalahan mereka dari Partai Komunis China (PCP). Dua juta kaum China nasionalis mendirikan "negara baru" di Pulau Formosa (nama Portugis) yang sekarang bernama Taiwan.

Saat kampanye, partai KMT dan presiden Ma menjual isu hubungan dengan China sebagai "tidak ada reunifikasi (no reunification), tidak ada kemerdekaan (no independence), tidak ada kekuatan militer (no military force)". Artinya KMT dan Ma Ying-jeou memilih tidak mempermasalahkan hubungan dengan RRC dalam bentuk apapun alias status quo.

KMT berjanji meningkatkan bisnis dan melanjutkan pembangunan ekonomi. Dalam empat tahun terakhir ekonomi Taiwan melesat mengejar Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Taiwan juga menjadi negara di Asia Timur yang memiliki penghasilan domestik bruto (PDB) pada 2010-2011.

Sebaliknya, Dr.Tsa Ing-wen dan DPP cenderung bersikap kritis soal hubungan pemerintah Taiwan dengan RRC. Sejumlah poltisi bahkan mengagendakan satu bentuk hubungan yang sedikit konfrontatif melawan China dengan mengeksplorasikekuatan militer Taiwan --yang didukung Amerika. Isu merdeka dari RRC sempat mengemuka beberapa kali, kendati tidak menjadi sikap resmi partai.

Partai Progresif Demokratik (DPP) didirikan pada 1986 dan memperjuangkan isu-isu seperti kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, dan penghormatan hak asasi manusia. Tsa Ing-wen adalah pengurus DPP, namun dalam kurun 4 tahun pemimpin wanita yang masih single ini melesat popularitasnya sampai menjadi calon presiden wanita pertama Taiwan.

Rakyat menentukan


Hasil Pemilu Taiwan 2012 menunjukkan rakyat Taiwan menghendaki beelanjutnya pembangunan ekonomi dan hubungan yang status quo terhadap RRC. Kendati banyak pihak mengkritik kebijakan pemerintah Taipei yang lunak terhadap Beijing, kemenangan presiden Ma menunjukkan mayoritas warga Taiwan tidak menghendaki konfrontasi bersenjata melawan RRC. Terlebih bagi warga negara senior Taiwan, RRC adalah tanah leluhur yang tak boleh dirusak oleh politik maupun kekuatan militer.

Di luar isu hubungan dengan RRC, pemilu Taiwan menunjukkan kapasitas yang matang politisi yang bersaing dan kesiapan warga Taiwan memperkuat demokrasi. Kendati suasana kampanye Pemilu sempat memanas, tidak sekalipun terjadi insiden kekerasan antar pendukung parpol maupun pendukung capres. Di tengah kota Taiwan yang modern dan tertib, aparat keamanan menjaga kampanye terbuka parpol dan capres secara tegas dan adil.

Rakyat di daerah juga sepakat melaksanakan Pemilu dengan aman dan damai. Aneka festival dan pasar rakyat pendukung partai digelar di berbagai tempat secara tertib dan meriah. Di tengah cuaca dingin dan hujan, warga tetap antusias menghadiri kampanye parpol.

Central Election Committe atau KPU Taiwan bekerja sangat cermat dan profesional. Dengan jumlah anggota KPU 200 ribu staf mereka mendirikan 14.806 TPS di seantero negeri dalam waktu satu minggu. KPU Taiwan juga berhasil menyelenggarakan model pemilu dalam paket hemat yang efisien, yakni pemilu legislatif dilaksanakan bersamaan dengan pemilu presiden secara langsung. Hasilnya pun relatif cepat. Pagi sampai sore pemilu, jam 8 malam, hasil penghitungan cepat sudah muncul.

Indonesia bisa jadi contoh negara di Asia yang mengadakan Pemilu langsung secara damai sejak reformasi 1998. Namun kualitas Pemilu di Indonesia cenderung menurun dari waktu ke waktu, ditandai jumlah Golput yang terus meningkat dan bayang-bayang kekerasan politik. Pemilu akhir-akhir ini jadi terasa mahal, rawan konflik, dan tidak legitimate. Barangkali kita perlu belajar Pemilu dari Taiwan yang membikin Pemilu lebih menyenangkan dan tidak bikin stress.

Di Taiwan, kemenangan dan kekalahan Pemilu berjalan tenang. Tak ada riak-gelombang, tak ada amuk massa, tak ada bakar-bakaran. Politik berjalan seperti jual beli : pembeli dapat barang, penjual dapat uang. Mereka yang tak dapat apa-apa, tetap pulang sambil tersedu. Tapi tak ada yang terluka, tak ada kemarahan. Setelah pemilu, semua berjalan normal seperti sediakala. Dari daratan Cina Kecil, sebuah demokrasi yang matang diperlihatkan.

Item Eko Maryadi | Taipei, Taiwan
Penanggungjawab Lingkarberita.com