Sumpek |
Ada pula NGO internasional yang menggalang petisi ‘kasus sandal’ untuk SBY. Keadilan pada anak-anak kembali diperbincangkan.
Di Palu, aksi pengumpulan sandal jepit dan uang pembelian sandal telah ‘tuntas’ dengan dikirimnya sandal dan uang pembelian sandal ke Markas Polda Sulawesi Tengah, Jl. Sam Ratulangi, Palu. Di Jakarta pun sama. Ratusan pasang sandal, baik bekas maupun baru pun telah dikirimkan ke Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri).
‘Pesan’ dalam aksi itu jelas tergambar, kasus yang melibatkan anggota Brigade Mobil (Brimob) Polda Sulteng, Briptu Ahmad Rusdi dan siswa SMK Negeri 3 Kota Palu, AAL, adalah sesuatu yang berlebihan dan tidak layak diteruskan.
Kasus ini berawal dari tuduhan Briptu Rusdi pada AAL, atas kasus pencurian sandal miliknya. Rusdi bahkan sempat menginterogasi dan menganiaya AAL dengan benda tumpul dan tangan kosong. Setelah itu, melaporkan AAL ke polisi untuk diproses secara hukum. Kasus terus bergulir.
Kejaksaan Negeri Palu pimpinan M.Adam SH meresponnya. AAL pun menjadi terdakwa. Tidak ada mediasi perdamaian dengan nasehat dan pembinaan. Meja hijau menjadi pilihan kejaksaan, dengan bukti sandal jepit kusam menjadi barang buktinya.
AAL duduk di kursi pesakitan, didamping setidaknya 15 pengacara seperti Syahrir Zakaria, Susilo, Elvis Dj Katuvu, dan Johanes Budiman Napat. Oleh JPU Naseh SH, AAL didakwa pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Dalam persidangan berbagai peristiwa ‘unik’ terjadi. Salah satunya, saat hakim dan pengacara bertanya kepada Briptu Rusdi soal keyakinan sandal jepit itu miliknya. Rusdi mengatakan, dirinya memiliki kontak batin dengan sandal itu. Namun ketika hakim meminta Rusdi memakai sandal itu di sela-sela pengadilan, terbukti, sandal itu terlalu kecil untuknya.
Meski demikian, persidangan menghasilkan keputusan mengejutkan. AAL dinilai bersalah, karena mengambil barang yang bukan miliknya. Pengadilan meminta AAL ‘dikembalikan’ ke orang tua karena belum cukup umur untuk menjalani proses hukuman. Ironisnya, pengadilan tidak menyebutkan, apakah sandal yang diambil itu milik Rusdi atau bukan.
Tim Penasehat Hukum AAL pun melakukan banding ke Pengadilan Negeri (PN) Palu, Sulawesi Tengah atas vonis itu. Terutama, pada proses pengusutan kasus yang sama sekali tidak disentuh dalam pengadilan sebelumnya. Yakni, tindakan pemukulan AAL oleh Briptu Rusdi, dan rekannya, Briptu Simson.
Buktinya, dari pemukulan itu adalah jatuhnya hukuman 21 hari kurungan dan penundaan kenaikan pangkat setahun, dalam sidang Kode Etik dan Disiplin yang digelar oleh Divisi Propam Polda Sulteng, Desember lalu. Rusdi masih menunggu vonis. Bagi pengacara, vonis itu belum cukup. Keduanya harus diajukan ke Pengadilan Umum untuk kasus penganiayaan anak di bawah umur.
Bukan kasus pertama
Kasus yang menimpa AAL ini bukanlah yang pertama kalinya. Kasus Anak yang berhadapan dengan hukum yang sempat mencuat adalah Kasus Raju, yaitu Anak SD yang memukul anak yang lebih besar. Data yang dirilis Komnas PA tahun 2011 menyebutkan, sepanjang tahun 2011 Komnas Perlindungan Anak (PA) menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) yang diajukan ke pengadilan.
Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan. Hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana.
Meningkatnya data prosentase pemidanaan ini dibuktikan dan diperkuat oleh data Anak yang tersebar di 16 lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia (data Kementerian Hukum dan HAM 2010). Setidaknya ada 6.505 anak yang berhadapan dengan hukum diajukan ke pengadilan, dan 4.622 anak diantaranya, mendekam di penjara.
Jumlah ini mungkin jauh lebih besar. Di laporan tersebut juga tertulis, kurang lebih 10 persen anak yang berhadapan dengan hukum dikenakan ’hukuman’ dikembalikan kepada negara melalui Kementerian Sosial atau orangtua.
Komisioner Komnas PA, Sofyan Lembah menilai, kasus ini seharusnya bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif. Yakni, balasan hukuman setimpal bagi pelaku kejahatan oleh negara hingga pihak yang dirugikan mendapat kompensasi bagi kerugian yang dialami. Penerapan Keadilan ini dapat dilakukan untuk mengurangi dampak psikologis terhadap AAL dan membebaskannya dari segala tuduhan.
Pijakan ini sesuai dengan pasal 16 Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 dan UU nomor 17 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta Keputusan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jaksa Agung, Mahkamah Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia.
Dinyatakan, penyelesaian pidana bagi anak yang berhadapan dengan hukum haruslah mengedepankan keadilan restoratif. Sedang penahanan atau pemidanaan merupakan upaya terakhir. Senada, Ketua Komnas PA, Aris Merdeka Sirait mengatakan, pada 13 kasus anak berhadapan dengan hukum pada 2011, keadilan restoratif bisa diterapkan. Baik sebagai korban maupun pelaku.
“Untuk itu, kami menghimbau aparat penegak hukum di Indonesia untuk mengedepankan keadilan restiratif dalam penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan hukum dan meminta agar RUU Peradilan Pidana untuk segera disahkan sebagai payung hukum keadilan restoratif,” tandas Aris.
Firman Qusnulyakin | Palu