Carut marut penyiaran Indonesia

Minggu-minggu ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil, berhadapan dengan pemerintah dan konglomerat media penyiaran di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Itu adalah bagian dari wajah dunia penyiaran Indonesia yang carut marut.

Lembaga-lembaga yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) itu, diantaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, Media Link, Yayasan 28, Pemantau Regulasi, dan Regulator Media (PR2Media), mengajukan Uji Materi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.


Dalam resume gugatannya, KIDP meminta Hakim MK memutuskan tafsir tunggal (sole interpretation) terhadap pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran. KIDP menilai dua pasal itu telah ditafsirkan sepihak dan serampangan oleh pemilik usaha penyiaran sehingga membuat iklim penyiaran yang monopolistik, tidak bermutu, dan tidak demokratis.


KIDP meminta Mahkamah Konstitusi mengembalikan roh dunia penyiaran Indonesia ke khittahnya, yaitu menjunjung tinggi keberagaman, memupuk keindonesiaan, dan memperkuat demokrasi.

Sejak 2002


Sejak awal diberlakukan Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 telah memicu kontroversi, terutama di kalangan pemerintah dan industri. Undang Undang ini merupakan revisi total dari UU Penyiaran sebelumnya, Nomor 24 Tahun 1997 yang dinilai ketinggalan zaman. Jika UU 24/1997 menganut sistem penyiaran terpusat di tangan pemerintah, UU Nomor 32/2002 mengusung semangat anti pemusatan kepemilikan, menjamin hak informasi publik lebih beragam dan berkualitas. Serta memperkuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator tunggal bidang penyiaran.

UU Penyiaran Tahun 32 Tahun 2002 memilah dunia penyiaran menjadi empat kelompok besar yakni Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Pembagian ranah penyiaran ini mengakhiri sistem penyiaran terpusat oleh negara, sekaligus mencerminkan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi siaran (diversity of content).

UU Penyiaran juga membawa semangat membatasi penyertaan modal asing pada bisnis penyiaran Indonesia dan mendayagunakan frekuensi sebagai hak milik publik yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Meskipun lahir pada masa reformasi, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tidak menyenangkan semua pihak. Pada Maret 2003 Asosiasi Televisi Swasta (ATVSI) dan Persatuan Radio Siaran Swasta (PRSSNI) mengajukan gugatan Peninjauan Kembali (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kelompok pengusaha intinya menolak aturan yang dinilai mempersulit pengembangan usaha penyiaran, menolak KPI sebagai regulator tunggal penyiaran, termasuk menggugat 22 pasal UU Penyiaran yang dianggap bermasalah.

Setelah melewati proses yang panjang, MK mengeluarkan keputusan Nomor 63 Tahun 2004 yang intinya menerima gugatan kalangan industri terhadap dua pasal krusial Penyiaran yakni pasal 44 ayat (1) dan pasal 66 ayat (1) dan (2) tentang kewajiban melakukan ralat bagi lembaga penyiaran. Dan, mengamputasi kewenangan Komisi Penyiatan Indonesia (KPI) hanya sebagai pengawas isi siaran (konten).

Keputusan MK tersebut memberikan keleluasaan kepada pemerintah (baca: Kementrian Komunikasi Informasita) untuk menyusun peraturan pemerintah tanpa harus melibatkan KPI. Walhasil, terjadilah "perseteruan ideologis" antara KPI vs Kemenkominfo sampai sekarang. Inilah yang membuat praktek penyiaran Indonesia menjadi kacau. Pelanggaran terhadap UU Penyiaran dibiarkan tanpa ada sanksi apapun.

Babak baru

Pertempuran hukum antara masyarakat sipil pro-penyiaran (KIDP) melawan pemerintah dan kalangan industri kembali terulang di Mahkamah Konstitusi. Gugatan Uji Materi dua pasal UU Penyiaran kali ini ditujukan kepada pemerintah sebagai pengatur penyiaran, dan sejumlah lembaga penyiaran swasta (LPS) yang dianggap terlibat langsung dalam praktek pelanggaran UU.

Dua isu utama yang dipersoalkan ialah pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran (pasal 18 ayat 1) dan larangan pemindahtanganan frekuensi penyiaran (pasal 34 ayat 4) yang selama ini ditafsirkan begitu liberal oleh kalangan industri penyiaran sehingga merusak tatanan penyiaran Indonesia secara keseluruhan.

KIDP menganggap tafsir dua pasal itu oleh kalangan industri bertentangan dengan Pasal 28 F dan Pasal 33 UUD 45 tentang hak informasi warga negara dan hak ekonomi masyarakat umum. Akibat penafsiran sepihak oleh badan hukum dan perseorangan terhadap UU Penyiaran, usaha penyiaran hanya menguntungkan sekelompok kecil pemilik modal atau orang tertentu saja. UU Penyiaran diakui, konsepnya ideal, tetapi pelaksanaannya melenceng dari makna aslinya.

Pemilu 2014


Pemusatan kepemilikan stasiun penyiaran swasta di tangan segelintir pengusaha sudah melanggar UU Penyiaran. Kini ancaman lain muncul, yakni status ganda pemilik bisnis media yang juga "pemilik" partai politik. Sekadar contoh, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Haritanoe Sudibjo, adalah konglomerat media yang juga penguasa partai politik. Sudah terbukti dewasa ini bagaimana siaran televisi yang menggunakan frekuensi publik akhirnya dipakai untuk mengampanyekan iklan-iklan politik para pemiliknya.

Jika sebelumnya iklan Partai Nasdem hanya muncul pada Metro TV, sekarang iklan tersebut ditayangkan pada grup penyiaran MNC. Ini karena pemilik grup MNC adalah petinggi partai Nasdem yang berkolaborasi dengan pemilik grup Media Indonesia.

Menjelang Pemilu 2014, bukan tidak mungkin media penyiaran (terutama televisi dan radio) akan digunakan sebagai ajang kampanye politik dan bisnis pemiliknya dan melupakan kepentingan publik yang lebih luas. Padahal kendati mereka lembaga penyiaran swasta, mereka menggunakan frekuensi milik publik bersifat terbatas dan harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Kelompok industri penyiaran selama ini sudah menangguk keuntungan finansial luar biasa dari usahanya. Alangkah mulia jika hasil keuntungan itu dikembalikan kepada publik dengan memberikan isi siaran yang bermutu dan bermanfaat, memperkuat keberagaman indonesia, menaati aturan kepenyiaran, dan tidak melanggar hukum. Apa sih susahnya?

Item Eko Maryadi