Bibit unggul yang tidak manjur

Penderitaan petani kian hari kian bertambah. Setelah mengalami musim kekeringan yang sangat panjang, kini justru penderitaan mereka bertambah saat musim bercocok tanam tidak membuahkan hasil. Harapan mereka pada benih unggulan pun bagai pepesan kosong.

Petani jagung dari tiga kecamatan di Kabupaten Tuban, Merakurak, Kerek dan Montong bisa menjadi contoh. Benih unggulan yang dipilih untuk menaikkan panen, justru membawa kerugian. Petani pun menuai dugaan-dugaan. Benih yang ditawarkan kepada mereka sudah kadaluarsa. Label penunjuk kadaluarsa yang ada di pembungkus benih, sengaja diganti, atau bahkan dipalsukan.


Sutikno, salah satu petani mengungkapkan hal itu. Kepada Lingkarberita.com, laki-laki 45 tahun yang seumur hidupnya menjadi petani itu mengaku membeli benih jagung jenis bermerk ‘P’ dalam sak berukuran 5 kg-an. “Saya membeli di daerah saya,” ungkap petani asli Kabupaten Merakurak itu. Biasanya, benih jenis itu cepat tumbuh, dengan buah jagung yang lebih besar, dengan butiran yang lebih rapat pula.


Namun yang terjadi justru sebaliknya. Ketika benih itu ditanam justru tidak tumbuh. “Saya juga bingung, gak tukul blas mas (tidak tumbuh sama sekali-red)”, ujarnya dengan bahasa jawa. Menurutnya, cara penanamannya pun sudah benar, dan mengikuti petunjuk yang ada di pembungkus benih unggulan itu.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh petani asal Kecamatan Kerek bernama Sudiran. Bibit yang dia beli juga tidak bisa tumbuh. Berbeda dengan Sutikno, Sadiran mengantisipasi hal itu dengan segera menanam kembali benih unggulan agar tidak ‘kehilangan’ masa tanam. Akibatnya, Saudiran terpaksa mengeluarkan biaya tambahan.

Penulusuran yang dilakukan Lingkarberita.com, harga belum bibit jagung berbeda satu sama lain, meskipun dari merk yang sama. Apalagi, bila sudam memasuki musim tanam. Biasanya, bila sudah masuk musim tanah, bibit unggul jagung ditawarkan dengan harga Rp.65.000/kg. Setiap harinya, harga it uterus merangkak naik menjadi Rp.70.000 – Rp.75.000/kg.

Bagi petani, berapa pun harga yang diterapkan, sejauh masih sebanding dengan hasil dan nilai jualnya, maka tidak akan memunculkan persoalan. Namun yang terjadi tidak demikian. Beberapa kali, petani harus menelan ludah karena hasilnya tidak maksimal. Dan kerugian yang menimpa petani, tergolong besar. Dalam satu kecamatan saja, setidaknya ada 25 ha lebih lahan jagung. Belum lagi petani di 17 kecamatan lain di Tuban.

Karena sering merugi itulah, petani di Jawa Timur, khususnya Tuban memiliki istilah ‘nganyarno duit’ atau menukar duit, sebagai sindiran tidak adanya laba. Pengeluaran dan hasil panen, sama saja. Di daerah yang dilintasi sungai Bengawan Solo (terpanjang di Pulau Jawa), dengan lahan sawah seluas 54 juta Ha, sindiran itu mengenaskan.

Problem lama


Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Cabang Tuban, Nurhadi mengungkapkan, kasus bibit unggulan yang tidak tumbuh sesuai harapan, sudah lama dirasakan petani. Namun, karena berbagai keterbatasan, petani memilih diam. “Namun musim ini memang berat, dan baru ini, petani mengeluh akan benih tersebut, mereka tetap tidak berani mengadu”, jelasnya.

Kebanyakan petani berpikir, mengadukan ke aparat desa adalah buang waktu dan tenaga. Apalagi, hasil dari pengaduan itu belum tentu ‘positif’. “Mereka juga takut ada ‘apa-apa’,” katanya. Apalagi, penduduk desa percaya, setiap hambatan yang didapatnya, akan berbuah kebaikan di kemudian hari. Untuk itulah mereka kebanyakan menutup mulut rapat-rapat.

Yati, seorang penjual bibit unggul di Tuban menolak jika kesalahan kegagalan panen petani di Tuban dibebankan kepada penjual bibit. Karena, setiap bibit yang datang dari pabrik, pasti dipastikan masa kadaluarsanya. Untuk bibit yang dijual tahun 2011, misalnya, pasti masa kadaluarsanya tahun 2012. “Memang ada yang keluhan ke kami, namun (bibit yang dijual) beres semua,” katanya.

Toko tempatnya bekerja juga mendapatkan garansi dari perusahaan pemasok bibit, untuk bisa mengganti bibit kepada petani, bila ada complain. Asal, petani yang bersangkutan bisa menunjukkan nota pembelian, dan akan diteruskan ke perusahaan bersangkutan. Lingkarberita.com telah berusaha mengkonfirmasikan berita ini kepada beberapa perwakilan kantor perusahaan bibit, namun menolak menjawab.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tuban, Kusno Adi Wijoto membenarkan adanya keluhan petani di daerahnya. Dan keluhan itu, tidak hanya berasal dari petani di tiga kecamatan saja. “Banyak petani yang sudah mengeluh”, ungkapnya. Namun, ketika petugas pertanian akan membantu mereka untuk memecahkan masalah, banyak petani yang tidak memiliki nota pembelian benih.

Langkah berkomunikasi dengan Ketua gabungan kelompok tani (Gapoktan) atau Kepala Cabang Dinas (KCD) pertanian terdekat pun tidak dilakukan. Melalui Ketua Komisi B DPRD Tuban, Karjo, DPRD menyatakan, siap mengawal dan mendukung jika persoalan yang melibatkan petani akan diusut tuntas. Semoga ada kabar baik bagi petani di kemudian hari.

Kartono | Tuban