Sang pengabdi di klenteng tertua

Ini cerita tersisa di balik hingar bingar Imlek 2012. Sisi lain Vihara Kim Tek Ie, klenteng tertua dan terbesar di Jakarta yang kesohor. Kisah tentang dua lelaki yang mengabdikan dirinya di klenteng tersebut. Yungyang dan Bun Kong. Leluhur merekalah yang babad alas membuka perkampungan Cina di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta.

***

Malam itu Vihara Kim Tek Ie sebenarnya sudah tertutup untuk umum. Vihara ini buka pukul 05.00 wib hingga pukul 19.00 wib. Lain hal jika di hari-hari besar, seperti Sin Cia, Li Chun dan Cap Go, vihara buka 24 jam.


Lingkar berbincang dengan Bun Kong dan Yungyang di dalam pekarangan pelataran klenteng. Tepatnya di samping Bao Gu Shi, patung singa penunggu klenteng dari abad 18 yang dikirim langsung dari Provinsi Kwangtung, Tiongkok Selatan.

Yungyang dan Bun Kong adalah dua orang yang bertugas membersihkan tempat bersejarah itu. Pekerjaan mereka menyapu, mengepel, mencabut rumput dan lain-lain berkaitan dengan kebersihan vihara. Pekerjaan itu dilakukan saat malam tiba atau saat tak ada pengunjung. Mereka tidak dibayar perbulan. Tapi perhari. Sehari, mereka diupah Rp 25.000.

“Upah kami harian. Kalau bekerja diupah, kalau tidak bekerja tidak dapat. Sehari dibayar Rp 25.000,” ungkap Yungyang dan diamini Bung Kong. Kadangkala mereka dapat tambahan dari tamu bila melayani ramalan nasib dan membakarkan dupa.

Keduanya menggantungkan hidup di vihara. Tidak ada pekerjaan lain. Untungnya, berbekal nilai sejarah yang mahatinggi, setiap harinya ada saja orang yang berkunjung ke vihara tersebut. Mulai dari yang menjalani ritual ibadah, turis mancanegara, hingga peneliti sejarah.

Tahun 1650

Vihara Kim Tek Ie dalam bahasa Indonesia disebut Vihara Dharma Bhakti. Lokasinya di Jalan Kemenangan III No.13, Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. Pertama dibangun pada 1650 oleh Kwee Hoen dengan nama Koan Im Teng—sebagai rasa hormat dan sukur kepada Dewi Koan Im atau Dewi Welas Asih.

Dalam perjalanannya, lantaran lidah masyarakat setempatlah kata Koan Im Teng mengalami pergeseran menjadi klenteng. Laiknya Batavia menjadi Betawi. Lidah memang tak bertulang. Dan klenteng pun menjadi sebutan umum untuk menyebut tempat peribadatan orang Tionghoa.

Pertama dibangun tempat itu dinamai Koan Im Teng, lalu kenapa sekarang dinamai Kim Tek Ie? Yu Ie, intelektual klenteng Kim Tek Ie menjelaskan, ketika meletus peristiwa pembantaian orang Tionghoa, 9-12 Oktober 1740, klenteng ini ikut dirusak dan dibakar. Sedikitnya 10 ribu orang Tioghoa terbunuh dalam kejadian 3 hari berturut-turut itu.

“Pada 1755 klenteng ini dipugar dan dibangun kembali oleh Kapiten Oei Tjhie. Lalu namanya diganti menjadi Kim Tek Ie. Dalam bahasa Hanzi disebut Jin De Yuan. Dalam bahasa Indonesia berarti kebajikan gunung emas,” tuturnya.

Ratusan tahun vihara itu berdiri. Benda-benda kuno di sana menjadi saksi bisu laju sejarah keberadaan orang Tionghoa di tanah Jakarta. Sebegitu hebat sejarah vihara tempat asal kata klenteng itu tak ayal mengundang berbagai kalangan untuk mengunjunginya. Maka Yungyang dan Bung Kong pun tersenyum melayani tamu yang datang.

“Ibarat masjid, tempat ini Istiqlal. Ibarat gereja, tempat ini Katedral. Ini vihara terbesar di Jakarta. Jadi kalau hari-hari besar di sini ramai sekali,” tandas Bun Kong penuh semangat. Ada kebanggan ketika melontar kata-kata itu.

Dalang

Meski “orang asli” Petak Sembilan, Bun Kong tak punya rumah di Pecinan. “Rumah saya di perko alias emperan toko. Saya ini keong, kemana-mana selalu bawa rumah. Di mana saya berada, di situlah rumah saya,” Bun Kong membuka riwayat pribadinya.

Ini bukan cerita sedih. Dari air muka dan nada bicaranya memang tak ada aroma kesedihan. Rupanya, laki-laki berusia 49 tahun itu memang menikmati lakon hidupnya. Dia lalu membeber falsafah wayang potehi. Menurut dia hidup ini sudah ada yang mengatur, jadi dilakonkan saja dengan suka hati.

“Kalau di Jawa ada wayang kulit, di Sunda ada wayang golek. Nah, kalau di kami ada wayang potehi. Dalam wayang ada dalang dan anak wayang. Dalam kehidupan, dalang itu sang pencipta dan kita manusia ini wayangnya. Dalang yang mengatur lakon wayang. Kalau wayang sudah masuk kotak, maka habis cerita. Jadi lakonkan saja hidup ini apa adanya,” paparnya.

Bun Kong tahu banyak cerita-cerita terkait klenteng tersebut. Setiap ceritanya mengandung falsafah. Maklum, garis keturunanya merupakan pembantu Suhu, pemuka agama di klenteng tua itu. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sedikit banyak Bun Kong “mewarisi” kepandaian pendahulunya.

Kehidupan Bun Kong setali tiga uang dengan Yungyang. Beda-beda tipislah. Jika Bun Kong sebatang kara dan tak punya rumah, maka Yungyang belum menikah di usianya yang sudah 50 tahun. Boleh dikata dia pun sebatang kara, meski kurang tepat. Yungyang masih punya rumah dan orang tua yang berjualan sate babi di Jalan Kemenangan, Petak Sembilan.

Yungyang tidak meneruskan usaha sate babi keluarganya. Dia memilih mengabdikan diri di klenteng sejak 3 tahun lalu. Baginya itu pilihan hidup. Lakon kehidupan yang diyakini sudah diatur oleh “dalang” bila diibaratkan permainan wayang potehi. Sama halnya dengan Bun Kong, lakon itu dinikmatinya betul-betul. Terlepas ada suka maupun duka.

“Hidup ini tentu ada suka dukanya. Sukanya bila ada tamu datang, sebab ada rejeki tambahan. Dukanya bila kebanjiran. Kami sangat kerepotan bila banjir. Harus menyedot mengeluarkan air dari klenteng,” ujarnya sambil tersenyum.

Wenri Wanhar | Jakarta